Contoh Artikel
Judul
Artikel
|
: ALIRAN DAN GENRE SASTRA
|
Sumber
Bacaan
|
: 1. http://www.jendelasastra.com/wawasan/artikel/aliran-dan-genre-sastra
2. http://www.duniaeni.com/2014/01/aku-ini-binatang-jalang-chairil- anwar.html
3. http://idontop.com/puisi-guru.html
4. http://chusnunyono.blogspot.co.id/
5. http://www.lokerseni.web.id/2012/06/cerpen-pendidikan-ayo-sekolah.html
6. http://www.jatikom.com/2016/03/contoh-naskah-drama-untuk-4-orang.html
|
A.
Aliran Sastra
Kata
mazhab atau aliran berasal dari kata stroming (bahasa Belanda) yang
mulai muncul di Indonesia pada zaman Pujangga Baru. Kata itu bermakna
keyakinan yang dianut golongan-golongan pengarang yang sepaham, ditimbulkan
karena menentang paham-paham lama (Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris,
terdapat dua kata yang maknanya sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods,
age, school, generation dan movements.
Aliran
sastra pada dasarnya berupaya menggambarkan prinsip (pandangan hidup,
politik, dll) yang dianut sastrawan dalam menghasilkan karya sastra. Dengan
kata lain, aliran sangat erat hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan
objek yang dikemukakan dalam karangannya.
Pada
prinsipnya, aliran sastra dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme,
dan (2) materialisme. Idealisme adalah aliran romantik yang
bertolak dari cita-cita yang dianut oleh penulisnya. Menurut aliran ini,
segala sesuatu yang terlihat di alam ini hanyalah merupakan bayangan dari
bayangan abadi yang tidak terduga oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini
dapat dibagi menjadi (a) romantisisme, (b) simbolik,
(c) mistisisme, dan (d) surealisme.
B.
Genre Sastra
Karya
sastra menurut genre atau jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama.
Pembagian tersebut semata-mata didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya
saja, bukan substansinya. Substansi karya sastra apa pun bentuknya tetap
sama, yakni pengalaman kemanusiaan dalam segala wujud dan
dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk sastra ini memudahkan proses
pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula komponen–komponen yang turut
membangun karya sastra tersebut. Berikut ini dipaparkan ketiga bentuk karya
sastra tersebut.
1. Puisi
Puisi
adalah karya sastra yang khas penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang
disusun secara khas pula. Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi
disusun dari peristiwa yang telah diberi makna dan ditafsirkan secara
estetik.
Susunan
kata dalam puisi relatif lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata
dan ungkapan dalam puisi diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan,
rima, ritme, nada, rasa, dan jangkauan simboliknya. Sebagai alat, katakata
dalam puisi harus mampu diboboti oleh gagasan yang ingin diutarakan penyair.
Di samping itu, kata-kata puisi harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa
pembacanya. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi
itu dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah
ini menyiratkan adanya semacam kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau
menyimpangi norma ketatabahasaan. Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah
mempertimbangkan tercapainya kepuitisannya.
Dari segi
bentuknya kita mengenal puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat
dikatakan sebagai puisi lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama,
seperti pantun, syair,dan gurindam.
Puisi
baru, puisi bebas atau yang lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai
muncul pada masa Pujangga Baru dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang
dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi modern dilahirkan dalam semangat mencari
kebebasan pengucapan pribadi. Puisi modern dapat dianggap sebagai bentuk
pengucapan puisi yang tidak menginginkan pola-pola estetika yang kaku atau
patokan-patokan yang membelenggu kebebasan jiwa penyair. Dengan demikian,
nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan, keselarasan, dan kepadatan
ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan larik yang membangunnya.
Sebagai
sistem tanda, karya sastra puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam
penggunaan bahasa dalam kegiatan komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi
dalam sastra juga bersifat khas karena (1) tidak mempunyai bentuk hubungan
timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung, (2) pemahaman
pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi
secara otomatis, dan (3) berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi
sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat,
waktu, dan peristiwa.
Untuk
mengapresiasi suatu puisi seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam
arti membaca teks sastra dan melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi
apabila pembaca memahami kode kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi
yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan yang demikian komunikasi dapat
berlangsung dan karya sastra mendapatkan maknanya.
Gejala
komunikasi seperti di atas dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa
seperti fungsi (1) emotif, (2) referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5)
metalingual, dan (6) konatif (Jacobson, dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif
mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan
mengekspresikan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial
mengacu pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda
ataupun kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan
sikap yang kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam
pernyataan Aku ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik
yakni fungsi bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam
lambang kebahasaan itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya,
pembaca dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak
terikat, tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai
pemaknaan dari binatang jalang.
Fungsi fatis,
mengacu pada konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi
juga bisa digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini berguna
untuk menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan
tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa
keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari pasar?” Kita
tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran tersebut hanya untuk
menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau
konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan
dengan fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu
hanya sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif
berisi konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi
menimbulkan efek, imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh
dari pernyataan di atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan
licin” mungkin secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam
berkendaraan atau berjalan. Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu
berkaitan dengan efek pemahaman, misalnya, tentang nilai kehidupan yang
mendorong kesadaran batin pembaca untuk melakukan ataupun menghayati
pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro
keberadaannya terkait dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang
terwujud dalam bentuk teks yang menjadi sarana kontak dengan pembaca
(penerima). Selain komponen makro kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni
komponen yang membentuk puisi sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu
puisi akan memanfaatkan (1) bunyi bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3)
penggunaan gaya bahasa untuk menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur
keindahan bunyi dalam puisi juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang
juga mempunyai berbagai macam karakteristik, seperti asonansi, disonansi,
aliterasi, rima, dan irama.
Untuk
memahami makna puisi, kita akan menemukan makna literal, pengertian tersirat,
dan nilai kehidupan. Makna literal merupakan makna yang digambarkan oleh
kata-kata dalam puisi seperti lazim dipersepsikan dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku ini binatang jalang, misalnya,
kata aku akan memberikan gambaran seseorang sebagai persona, misalnya
penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk gambaran dari
sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran batin pembaca
mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau, atau hewan
yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik
puisi Aku ini binatang jalang, tentu saja tidak memuat informasi
ataupun pengertian bahwa ’aku ini merupakan hewan harimau”. Gambaran
bahwa aku merupakan binatang jalang hanya merupakan perbandingan atau metafora
aku layaknya atau bagaikan binatang jalang. Dengan kata lain,
menggambarkan aku seperti singa atau harimau memuat pengertian
yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita mestilah memahami
gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak diperbandingkan atau
dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan begitu, kita tidak
akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka makan daging
mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan kekuatan,
keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk
memahami nilai kehidupan tentu saja kita harus memahami makna yang terdapat
dalam puisi tersebut. Apabila hal tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam
kehidupan sehari-hari, manfaat itu berlaku juga bagi kehidupan manusia pada
umumnya. Jadi jelas pemahaman nilai-nilai kehidupan memang benarbenar memiliki
relevansi dengan kenyataan kehidupan sehari-hari.
Contoh Puisi
AKU
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulan terbuang
Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Pahlawan
Tanpa Tanda Jasa
Pahlawan tanpa tanda jasa Ialah Guru
Yang
mendidik ku
Yang membekali ku ilmu Dengan tulus dan sabar
Senyummu
memberikan semangat untuk kami
Menyongsong masa depan yang lebih baik
Setitik
peluhmu
Menandakan sebuah perjuangan yang sangat besar Untuk murid-muridnya
Terima
kasih Guru
Perjuanganmu sangat berarti bagiku Tanpamu ku tak akan tahu tentang dunia ini
Akan
selalu ku panjatkan doa untukmu
Terimakasih Guruku
2. Prosa
Prosa
merupakan jenis karya sastra dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang
bersifat penguraian, (2) adanya satuan-satuan makna dalam wujud alineaalinea,
dan (3) penggunaan bahasa yang cenderung longgar. Bentuk ini merupakan
rangkaian peristiwa imajinatif yang diperankan oleh pelaku-pelaku cerita,
dengan latar dan tahapan tertentu yang sering disebut dengan cerita rekaan.
Bentuk ini terbagi atas kategori cerita pendek, novelet, dan novel.
Sebagai
cerita rekaan, ia juga harus memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi
cerita, bahasa dan unsur-unsur fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain
sebagai berikut (a) tokoh dan penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e)
amanat, (f) sudut pandang, (g) dan gaya bahasa, yang semuanya saling
berhubungan sehingga membentuk satu cerita yang utuh.
Pembagian
bentuk prosa seperti yang dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel,
dan roman. Menurutnya, cerpen adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam
sekali duduk. Novel adalah cerita fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup
para tokohnya dengan segala liku-liku perjalanan dan perubahan nasibnya.
sedangkan roman adalah cerita fiksi yang mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak
sampai tutup usia. Jadi, panjang pendeknya cerita tidak dapat dijadikan
patokan. Namun, sekarang ini istilah roman sudah jarang digunakan karena
dianggap sama dengan novel.
Cerpen
biasanya memiliki alur tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan
mencakup peristiwa yang terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang
dikembangkan secara penuh. Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya
langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung
ditunjukkan oleh pengarangnya melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di
samping itu, cerita pendek biasanya mencakup rentang waktu cerita yang pendek
pula, misalnya semalam, sehari, seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel
memiliki durasi cerita yang lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel
memiliki peluang yang cukup untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam
rentang waktu yang cukup panjang dan kronologi cerita yang bervariasi
(ganda). Novel memungkinkan kita untuk menangkap perkembangan kejiwaan tokoh
secara lebih komprehensif dan memungkinkan adanya penyajian secara panjang
lebar mengenai permasalahan manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang
diangkat menjadi tema-tema novel umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila
dibandingkan dengan cerpen. Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber
inspirasi penulis sangatlah rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan
itu meliputi hubungan antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta,
manusia dengan masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh
tidak statis, tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan
keleluasaan juga membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi
bumbu cerita.
Demikianlah
sebuah karya sastra, sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang
mendukung keberadaannya. Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut
dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Menurut Jakob
Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang dimaksud dengan unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang berasal dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti: tema,
tokoh, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini
harus ada karena akan menjadi kerangka dan isi karya tersebut. Sementara itu,
unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari luar karya sastra,
misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik, agama, dan filsafat. Faktor
ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan karya sastra. Akan tetapi,
bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk diketahui karena akan membantu
pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak ada karya sastra yang lahir
dari kekosongan budaya.
Contoh Prosa Lama
Hikayat
Gunung Tidar Dan Tombak Kiai Panjang
Syahdan, dahulu kala Tanah Jawa ini masih berupa hutan belantara yang
tiada seorangpun berani tinggal di sana. Sebagian besar wilayah Jawa ini
dahulu masih dikuasai berbagai makhluk halus. Konon Tanah Jawa yang
dikelilingi laut ini bak perahu yang mudah oleng oleh ombak laut yang besar.
Maka melihat itu para dewata segera mencari cara untuk mengatasinya.
Maka berkumpullah para dewa untuk membahas persoalan Tanah Jawa yang
tidak pernah tenang oleh hantaman ombak itu. Diutuslah sejumlah dewa untuk
tugas menenangkan pulau ini. Mereka membawa sejumlah bala tentara menuju
Pulau Jawa sebelah barat. Namun, tiba-tiba Pulau Jawa kembali oleng dan berat
sebelah karena para dewa dan bala tentara hanya menempati wilayah barat. Agar
seimbang, sebagian dikirim ke timur. Namun usaha ini tetap gagal.
Melihat kenyataan itu maka para dewa sibuk mencari jalan pemecahan.
Setelah beberapa waktu berembug, maka didapatkanlah sebuah ide cemerlang. Mau
tak mau para dewa harus menciptakan sebuah paku raksasa, dan paku itu akan
ditancapkan di pusat Tanah Jawa, yaitu titik tengah yang dapat menjadikan
Pulau Jawa seimbang. Paku raksasa yang ditancapkan itu konon dipercaya
sebagian masyarakat sebagai Gunung Tidar. Dan setelah paku raksasa itu
ditancapkan, Pulau Jawa menjadi tenang dari hantaman ombak.Menurut kepercayaan
sebagian masyarakat, Gunung Tidar pada mulanya hanya ditinggali oleh para jin
dan setan yang konon dipimpin oleh salah satu jin bernama Kiai Semar. Kiai
Semar tidak sama dengan tokoh Semar dalam dunia pewayangan. Kiai Semar yang
menguasai Gunung Tidar ini konon jin sakti yang terkenal seram. Setiap ada
manusia yang mencoba untuk tinggal di sekitar Gunung Tidar, maka tak segan
Kiai Semar mengutus anak buahnya yang berupa raksasa-raksasa dan genderuwo
untuk memangsanya.
Alkisah, datanglah seorang manusia yang terkenal berani untuk mencoba
membuka wilayah Tidar untuk ditinggali. Ksatria berani ini berasal dari tanah
jauh. Konon ia berasal dari negeri Turki, bernama Syekh Bakir dan ditemani
Syekh Jangkung. Kedua syekh ini disertai juga oleh tujuh pasang manusia,
dengan harapan dapat mengembangkan masyarakat yang kelek mendiami wilayah
itu.
Mendengar kabar itu, Kiai Semar murka. Diseranglah mereka oleh anak buah
Kiai Semar, dan tiada seorangpun yang selamat kecuali Syekh Bakir yang sakti,
soleh, dan sabar. Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam, ia bertemu dengan
Kiai Semar.
“Hei, Ki Sanak, berani benar kau berada di wilayah kekuasaanku tanpa
permisi. Siapakah engkau dan apa maumu berada di wilayah ini,” kata Kiai
Semar.
“Duh penguasa wilayah Tidar, ketahuilah olehmu bahwa namaku Syekh Bakir,
asalku dari negeri Turki nun jauh di sana. Adapun kedatanganku kemari untuk
membuka tempat dan aku akan tinggal di sini bersama saudara dan sahabatku,”
jawab Syekh Bakir dengan tenang.
“Adakah kau tahu bahwa daerah ini adalah daerah kekuasaanku? Siapapun tak
boleh tinggal di sini. Jika tiada peduli, maka akau akan mnegutus anak buahku
untuk menumpas kalian tanpa sisa.”
“Hai engkau yang mengaku sebagai penguasa Gunung Tidar, tidakkah kau tahu
bahwa tiada yang dapat melebihi kekuasaan Allah? Allah menciptakan manusia
untuk menjaga dan memelihara alam semesta ini, bukan untuk menguasainya
secara semena-mena,” kata Syekh Bakir.
“Hei manusia, sebelum kemarahanku memuncak, tinggalkan tempat ini!
Ketahuilah bahwa tempat ini sudah menjadi milikku, dan jangan mencoba
merampasnya.” Syekh Bakir terdiam.
Mendengar ancaman Kiai Semar, ia lalu mengalah. Tetapi bukan berarti ia
menyerah kalah. Tetapi sebaliknya Syekh Bakir hendak menyiapkan diri lebih
baik untuk mengalahkan Kiai Semar dan bala tentaranya.
Sesampai di negeri Turki, ia mengambil sebuah tombak sakti yang bernama
Kiai Panjang. Selain itu, iapun menyiapkan lebih banyak lagi manusia yang
akan diajak serta untuk membuka tempat tinggal baru di Tidar.
Sesampai kembali di Tidar, berpasang-pasang manusia yang diajak serta
oleh Syekh Bakir tinggal lebih dulu di daerah sebelah timur Gunung Tidar yang
sekarang dikenal dengan nama desa Trunan. Konon desa itu berasal dari makna
“turunan”. Ada yang mengatakan arti dari turunan itu adalah keturunan, tetapi
ada yang menganggapnya sebagai daerah pertama kali sahabat-sahabat Syekh
Bakir diturunkan dan tinggal di tempat itu untuk sementara waktu.
Setelah itu Syekh Bakir berangkat sendiri ke puncak Gunung Tidar untuk
bersemadi. Tombak pusaka sakti Syekh Bakir ditancapkan tepat di puncak Tidar
sebagai penolak bala. Dan benar, tombak sakti itu menciptakan hawa panas yang
bukan main bagi Kiai Semar dan wadyabalanya.Merekapun lari tunggang langgang
meninggalkan Gunung Tidar. Dengan adanya tombak sakti itu, maka amanlah
Gunung Tidar dari kekuasaan para jin dan makhluk halus. Syekh Bakirpun
akhirnya memboyong sahabat-sahabatnya untuk membuka tempat tinggal baru di
Gunung Tidar dan sekitarnya.
Contoh Prosa Baru
AYO SEKOLAH
Karya Ilham
Ketika mentari mulai terlihat merangkak perlahan di ufuk timur, Raodah nampak bergegas menuju kamar tidur anaknya. Pagi yang disambut kokokan ayam jantan dari segala sudut penjuru kampung membuat janda muda itu semakin tampak gelisah. Mengapa tidak, arah jarum jam hampir menunjuk tepat ke angka enam, namun anak semata wayangnya itu tak kunjung bangun dari tidurnya. Bukan hanya gelisah, namun perlahan raut wajah Raodah terlihat begitu kesal setelah melihat tingkah anaknya yang tak seperti biasanya. “Udin lekas bangun, sudah siang,” begitu kata Raodah setelah tepat berada di tempat pembaringan anaknya itu. Entah masih berada dalam dunia mimpinya, perkataan itu tak digubris Udin. “Udin ayo bangun, entar kamu telat masuk sekolahnya,” kalimat Raodah sedikit mengoyang-goyangkan tubuh anaknya. Namun, alangkah nikmatnya dunia mimpi, membuat Udin tak kunjungbangun. Dengkuran udin masih terdengar begitu jelas dikedua telinga Raodah, membuatnya bertambah kesal. Bantal guling yang ada di sisi kanan tubuh anaknya itu diambilnya lalu di pukulkannya ke arah wajah Udin dengan pelan.“Udiiiin, bangun”. Bukan mendengar, namun merasakan hantaman guling ke wajahnya membuat Udin seketika tersentak bangun. Terlihat sedikit lucu atas respon anaknya membuat Raodah tersenyum mengusir kekesalan hatinya pada anaknya.“Ah ibu, menggangu mimpi Udin saja,” Ucapan spontan Udin disaat melihat ibunya tersenyum pahit padanya.“Mimpi, mimpi. Sekarang kamu cepat mandi tidak lama waktunya kamu masuk sekolah”.“Sekolah, sekolah lagi. Udin malas masuk sekolah bu. Bosan,” Balas Udin sembari menjatuhkan kepalanya kembali ke bantal. Alangkah kaget hati Raodah, ia tak habis pikir bahwa anaknya akan berkata seperti itu.
Hampir tak dapat berkata lagi,
setelah menyaksikan tingkah anaknya yang aneh itu. Udin di mata Raodah
dikenal sebagai sesosok anak yang pandai dan rajin. Semenjak Udin mengenal
dunia pendidikan, nilai prestasi udin sangat bagus di mata Raodah dan termasuk
para gurunya.
“Sudah lah bu, Udin mau tidur lagi untuk melanjutkan mimpi Udin bertemu dengan kakek-kakek tua”. Raodah kembali tersentak kaget mendengar perkataan anaknya seperti itu. Meskipun belum mengerti mengapa sikap dan tingkah anaknya berubah drastis, dengan sikap keibuan Raodah, ia kembali berkata pada anaknya,“Udin, jika kamu tak sekolah, lantas kamu mau jadi apa nantinya”. Mendengar kalimat ibunya itu, Udin hanya terdiam kemudian menutupi kepalanya dengan bantal. “Lho, kok Udin seperti ini. Apa Udin tidak kasihan sama Ibu,” Raodah mencoba membujuk Udin, anaknya itu. Seketika pun Udin memutuskan tuk kembali duduk dan menatap Raodah, ibunya. “Ibu, justru Udin kasihan sama Ibu, sehingga udin memutuskan tuk tidak ke sekolah. Aku kasihan sama ibu, yang menyekolahkan aku dengan orientasi kelak aku kerja jadi pegawai,” kalimat Udin membuat Raodah hanya terdiam.“Coba ibu pikir, jika esok hari nanti aku tidak jadi pegawai, pasti ibu sendiri akan kecewa. Sebab di pikiran ibu, letak keberhasilan seseorang sekolah itu di ukur apabila dia jadi pegawai nantinya”.“Tapi Udin, bagaimana caranya kita akan merubah nasib jika kamu tidak sekolah. Apalagi dengan bersekolah, kamu akan menjadi cerdas. Dan setelah cerdas, bukan hanya nasib di keluarga kita yang dapat kamu rubah, tetapi nasib orang-orang miskin lain pun kamu dapat merubahnya,” kalimat balas Raodah mencoba memberi pemahaman pada anaknya itu.Mendengar perkataan ibunya, udin hanya tersenyum dan meraih kedua tangan ibunya itu.“Ibu, apa ibu tahu bahwa sekolah itu adalah salah satu bentuk pembodohan pemerintah bagi rakyat miskin seperti kita ini”.“Udin, maksud kamu apa nak,” Raodah seketika kaget pendengar pengakuan anaknya itu. Sedikit penasaran pun menyelimuti pikirannya. “Bu, coba ibu pikir, sudah beberapa tahun ini Udin sekolah. Namun tak sedikit pun kesukaan Udin yang terelisasikan oleh sekolah udin sendiri. Udin hobi bermain Drama, namun di sekolah tak pernah mengajarkan kita mengenai drama. Yang ada hanya metematika dan bahasa inggris. Di sekolah juga kalau Udin perhatikan, hanya orang-orang kaya yang mendapatkan pelayanan baik dari guru. Banyak teman-teman Udin yang segolongan dengan kita yang miskin ini, hanya dikomersilkan dari guru-guru. Dibilang bodoh lah, dicap nakal lah sehingga membuat kita merasa diasingkan. Jadi kira-kira apa untungnya jika Udin masih tetap sekolah,” jelas Udin selayaknya orang dewasa. Demikian yang terjadi pada Raodah yang tak habis pikir, apa yang membuat anaknya menjadi seperti itu.Jarum jam yang menempel di dinding kamar Udin semakin berputar, dan telah menunjukkan tepat pukul 07.00. Namun, anak dan orang tua itu tak beranjak dari ruangan sederhana itu. Percakapan masih saja terus berlangsung membuat mereka terhipnotis seakan tak sadarkan diri.“Ibu, semalam Udin bermimpi bertemu dengan kakek-kakek tua. Udin tak tahu siapa. Tapi kakek tua itu memberikan pemahaman padaku tentang kondisi pendidikan di kampung kita ini. Udin baru mengerti, ternyata dunia pendidikan di kampung kita ini itu sangat rusak bu,” lanjut Udin bernada kesal.“Siapa bilang pendidikan itu rusak nak. Coba lihat, sudah berapa kali Udin mendapat beasiswa dari sekolah sebagai siswa terpandai di sekolah. Jadi jangan berpendapat seperti itu dong nak,” Raodah kembali memberi pemahaman dengan mengusap-usap kepala anaknya itu.“Nah, itulah salah satu kekeliruan pendidikan bu, hanya siswa cerdas yang diakui dan dibantu oleh pemerintah. Sedangkan bagi siswa-siswa yang bodoh tidak dianggap dan tidak diberikan bantuan semacam beasiswa itu”. “Tapi itu adalah salah satu cara pemerintah untuk meningkatkan motifasi bagi anak untuk lebih giat belajar lagi,” balas Raodah mencoba melayani perkataan Udin, anaknya. Namun mendengar pernyataan ibunya, Udin kembali tersenyum.“jadi di mana letak tugas-tugas pendidikan itu sendiri, yang katanya merubah sikap dan prilaku seseorang menjadi lebih baik. Dalam mimpi udin semalam, kakek-kakek itu sempat berkata padaku, bahwa pendidikan hanya akan melahirkan penindas-penindas baru di kapung kita ini bu. Dan itu fakta, sebab mengapa di kampung kita ini banyak pejabat-pejabat korupsi yang merampok uang-uang rakyat. Itu semua dampak dari biaya pendidikan yang mahal. Hmmm, Pokoknya pendidikan itu sangat rusak lah bu,” Sela Udin mencoba mengakhiri perdebatannya dengan ibunya.Mendengar segala perkataan Udin, Raodah tak habis pikir, hanya karena mimpi anaknya dapat berkata seperti itu. Raodah heran, tingkah anaknya di pagi itu tak ubahnya tingkah orang-orang dewasa. Hampir tak percaya, sebab Udin masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Menganggap pendapat anaknya tak dapat ditentang lagi, Raodah memutuskan tuk mengikuti arus pikiran anaknya itu agar dia kembali mau melanjutkan sekolahnya lagi. “Baiklah, ibu sekarang mengerti apa maksud Udin. Memang pendapat kamu semuanya benar. Jadi sekarang ibu mau bertanya pada Udin”.“Apa itu bu,” sepertinya Udin penasaran mendengar perkataan ibunya. “Jika sekarang Udin prihatin dengan kondisi pendidikan, jadi apa Udin mau melakukan perubahan terhadap dunia pendidikan di kampung kita ini,” Raodah mencoba menjebak anaknya itu. “Yah maulah bu. Udin mau merubah sistem-sistem pendidikan. Udin mau menerapkan sistem pendidikan yang tidak berpihak. Udin akan menghapus yang namanya ujian nasional, agar hak-hak guru sebagai orang yang mengetahui tingkat kecerdasan muridnya itu bisa kembali lagi,” kalimat Udin yang terdengar seakan bermain-main dengan imajinasinya sendiri. “Nah, kira-kira dengan cara seperti apa yang akan membuat Cita-cita Udin seperti itu bisa tercapai,” Raodah kembali bertanya pada Udin.“Yah, dengan cara bersekolah yang baiklah bu,” kata Udin sedikit memotong pembicaraan ibunya.“Itu kan,,, Udin sendiri memahami, bahwa bersekolah itu kita dapat mewujudkan cita-cita kita. Tapi mengapa sekarang ini, Udin sendiri tak mau pergi sekolah. Gimana caranya,” Raodah seakan mengejek anaknya, namun sekedar mengembalikan pemahaman Udin seperti sedia kala.“Oh iya, lho kok Udin bisa lupa sih. Jika Udin tak sekolah, sama halnya aku merelakan diri untuk dibodohkan oleh orang lain,” Udin seakan baru terbangun dari ketidak sadarannya.“Nah itu baru anak ibu. Berhubung jam baru menunjukkan pukul setengah delapan, lekas mandi. Setelah itu, Udin berangkat sekolah untuk merampok Ilmu pengetahuan,” Gumam Raodah memberi semangat pada anak semata wayangnya itu.“Baiklah, pokoknya kelak, Udin akan merubah kampung kita ini dengan hasil perjuangan Udin nantinya”. Mendengar pengakuan Udin, Raodah seketika tersenyum simpul lalu memeluk erat anaknya itu.“Yah sudah, lekas mandi”. Raodah melepas pelukannya, sehingga Udin seketika bersemangat dan segera beranjak meninggalkan tempat tidurnya. Melihat tingkah anaknya yang lucu, Raodah kembali tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Di sisi lain, Raodah pun merasa lega, akhirnya pengaruh kakek-kakek yang ditemui Udin dalam mimpinya bisa terhapuskan kembali. Ia takut, jika pengaruh kakek-kakek itu terus tertanam di fikiran anaknya, kelak anaknya itu tak akan bercita-cita menjadi pegawai negri lagi. Sebab difikran Raodah, anaknya dianggap berhasil jika dapat mencapai predikat yang namanya PNS. Sebagai ibu yang ingin melihat anaknya berhasil, Raodah kembali bernafas lega setelah beberapa menit ia sempat khawatir dengan sifat kekritisan anaknya yang begitu cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk merapikan tempat tidur Udin yang sangat berantakan. Namun, setelah beberapa detik merapikan tempat tidur anaknya itu, ia kembali dikagetkan dengan kalimat Udin yang kembali menemui ibunya yang masih berada dalam kamar. “Bu, tapi setelah Udin pikir-pikir, jika Udin tetap sekolah dan akhirnya aku cerdas, apakah aku tidak akan menjadi penindas-penindas baru di kampung kita ini. Udin sepertinya ragu bu akan semua itu”. Mendengar perkataan Udin yang mengagetkan, Raodah hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Ruangan sederhana itu kembali sepi. Anak dan ibu itu semuanya membisu. Sepintas berlalu, bayangan kakek-kakek yang ada dalam mimpi Udin itu kembali terlihat melintas di depan mata. Lalu, semuanya kembali terdiam.
3. Drama
Pada
dasarnya drama tidak jauh berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu berkaitan
dengan aspek kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada perbedaan
esensial yang membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi, yakni pada
tujuannya. Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk dipentaskan. Semi
(1988) menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang
dipentaskan.
Jika
dicermati secara saksama, drama memiliki dua aspek esensial, yakni aspek
cerita dan aspek pementasan yang berhubungan dengan seni lakon atau teater.
Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni (1) sastra, (2) gerakan, dan
(3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak disusun khusus untuk dibaca
seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada itu dalam penciptaan naskah
drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek pementasannya. Dalam hampir setiap
naskah drama selalu ditemukan narasi, dialog, dan arahan tentang petunjuk
lakuan atau akting.
Contoh Drama
Sinopsis Drama Remaja
Jalil dan Umroh pada hari itu berusaha untuk memberikan pemahaman kepada kedua temannya, yaitu Erna dan Lubis tentang betapa pendidikan itu jauh lebih penting katimbang melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai. Dialog Drama Lubis: Besok hari Minggu kalian pada mau kemana nih? Pasti ada acara jalan-jalan ya?! Erna: Nggak tahu tuh.. aku belum punya rencana kemana-kemana. Jalil: Kalau aku mau stay dirumah aja. Aku mendingan belajar daripada jalan kesana-kemari nggak jelas gitu. Umroh: Iya, aku juga sama dengan Jalil. Daripada keluyuran nggak jelas kan mending belajar aja dirumah. Jali dan Umroh memang berbeda dengan Lubis dan Erna. Jalil dan Umroh adalah sosok remaja yang rajin belajar dan senantiasa memprioritaskan pendidikan. Lubis: Kalian hari Minggu pun masih dipake untuk belajar?! kan selama tujuh hari itu kita hanya punya satu hari untuk menenangkan diri, ngapain juga mesti dipake untuk belajar. Erna: Iya, mereka ini rajin banget sih. Padajal belajar selama enam hari itu kan juga sudah lebih dari cukup. Umroh kemudian menjabarkan kepada mereka bedua, betapa pendidikan itu jauh lebih penting daripada bermain atau keluyuran nggak tentu arah. Umroh: Berlibur itu emang perlu sih.. kita pastinya emang merasa jenuh jika setiap hari hanya belajar dan belajar, tapi kit aharus ingat bahwa dengan banyak belajarlah yang akan menjadikan kita sebagai anak yang pintar. Jalil: Iya, aku setuju dengan kamu, Umroh. Udahlah, aku sih bukannya melarang kalau kalian mau jalan, tapi maunya aku tuh kalian tetap fokus sama pendidikan. Jangan kebanyakan keluyuran, sementara pendidikan kalian abaikan. Erna: Siapa bilang aku mengabaikan pendidikan. Aku juga belajar kok.. cuman nggak serajin kalin sih.. Umroh: Nah itu dia, mulai sekarang kalian harus memberi waktu yang lebih banyak untuk proses belajar kalian agar nantinya kamu bisa lulus dengan nilai yang membanggakan. Lubis pun dibuat terenung oleh nasehat temannya itu (betapa mereka ini sangat mementingkan pendidikan katimbang bermain) bisik Lubis dalam hati. Lubis: Ok, aku terima masukan kalian. Sepertinya apa yang kalian sampaikan itu emang benar. Mulai sekrang aku harus lebih care dengan pendidikan. Erna: Iya juga ya.. ngapain aku harus ngebuang banyak waktu untuk tujuan yang nggak jelas gitu, sementara pendidikan yang harusnya aku beri banyak perhatian malah jadi terabaikan. |